-->

Notification

×

Iklan Jayapura Kab

Iklan

Tag Terpopuler

Ketika Bahasa Ibu Mulai Terdiam, Pelajar Papua Menulis untuk Menyelamatkan Budaya

19 Desember 2025 | Desember 19, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-19T03:23:49Z
Suasana pengumuman Lomba Menulis tingkat SMA/SMK se-Tanah Tabi bertajuk Corong Literasi Budaya oleh Komunitas Kintal Rum Fararur.

JAYAPURA |  Papuareels.id — Di banyak rumah di Papua, bahasa ibu kini perlahan kehilangan ruangnya. Percakapan sehari-hari kian didominasi bahasa digital, sementara cerita leluhur semakin jarang diwariskan. Kekhawatiran akan hilangnya identitas inilah yang melatarbelakangi digelarnya Lomba Menulis tingkat SMA/SMK se-Tanah Tabi bertajuk Corong Literasi Budaya oleh Komunitas Kintal Rum Fararur.

Pengumuman pemenang lomba berlangsung di Cafe Kintal X BM, Kotaraja, Kota Jayapura, Kamis (18/12/2025). Benedicta Kumaniwareng tampil sebagai Juara I dengan nilai 131,5 poin. Juara II diraih Zaskia Clara dengan 110,5 poin, sementara Juara III ditempati Vina Kabak dengan nilai 104 poin.

Ketua Komunitas Kintal Rum Fararur, Onesias Chalvox Urbinas, menyebut kegiatan ini lahir dari kegelisahan kolektif terhadap semakin menjauhnya generasi muda dari akar budaya Papua. Ia menilai transformasi digital, meski membawa kemajuan, juga meninggalkan luka pada bahasa dan identitas lokal.

“Sekarang ini, dalam satu keluarga saja, dua generasi sudah sulit menggunakan bahasa daerah. Ini bukan hal kecil, ini tanda bahwa identitas kita sedang diuji,” ujar Urbinas yang akrab disapa Epo.
Menurutnya, budaya Papua selama ini banyak hidup dalam tradisi lisan. Ketika ruang bertutur semakin sempit, menulis menjadi jalan penyelamatan terakhir agar nilai-nilai budaya tidak lenyap begitu saja.

“Kalau tidak ditulis, budaya bisa hilang tanpa jejak. Yang tersisa hanya cerita bahwa kita pernah punya itu,” katanya.

Epo menegaskan, Corong Literasi Budaya bukanlah kegiatan seremonial. Ia ingin lomba ini menjadi pemicu lahirnya gerakan literasi budaya yang berkelanjutan, meski komunitas sering berjalan dengan keterbatasan dukungan operasional.

“Kami berharap ada keterlibatan pemerintah daerah dan dinas terkait melalui cara-cara kreatif dan kolaboratif bersama praktisi serta komunitas budaya,” ujarnya.

Harapan besar justru tumbuh dari antusiasme pelajar SMA/SMK yang mendominasi peserta lomba. Bagi Epo, hal ini menjadi sinyal bahwa generasi muda Papua masih memiliki kepekaan terhadap budayanya sendiri.

“Anak-anak sekolah memberi kami harapan. Mereka menulis bukan karena lomba semata, tetapi karena merasa budayanya penting untuk disuarakan,” ungkapnya.

Ke depan, karya-karya peserta akan dipublikasikan dengan dukungan media, bahkan dikembangkan ke bentuk visual seperti video dan cerita pendek digital agar narasi budaya Papua dapat menjangkau ruang yang lebih luas.

“Kami ingin ada output yang jelas. Bukan hanya lomba, tetapi pergerakan informasi budaya melalui media digital, ruang kelas, dan narasi literasi yang lebih spesifik,” tandas Epo.
Sementara itu, Kapolresta Jayapura Kota Kombes Pol Fredrickus Maclarimboen, yang juga Pembina Yayasan Colo Sagu, menegaskan pentingnya peran generasi muda Papua dalam menggali, menulis, dan mendokumentasikan nilai-nilai budaya lokal.

Menurutnya, kekayaan budaya Papua selama ini lebih banyak diwariskan secara lisan dan belum terdokumentasi dengan baik. Padahal, perbedaan cara masyarakat di berbagai daerah seperti di Tanah Merah dan Sentani dalam memaknai papeda merupakan identitas budaya yang sangat penting untuk ditulis agar tidak hilang ditelan zaman.

“Menulis budaya, meski dimulai dari hal kecil, akan berdampak besar jika dilakukan secara konsisten,” ujar Kapolresta.

Ia juga mendorong keterlibatan guru, media, dan berbagai pihak untuk terus memotivasi generasi muda Papua mengasah kemampuan menulis dan berpikir kritis melalui budaya mereka sendiri.
×
Berita Terbaru Update